RSIA sebagaimana dilansir Serambi, Jumat (1/4).
Serida yang merupakan salah seorang dokter spesialis kebidanan dan kandungan di RSIA
secara khusus datang ke Kantor Serambi Indonesia bersama suaminya,
Muhammad Dahlan meluruskan berbagai informasi yang berkembang setelah
kasus meninggalnya Suryani dan bayinya, tiga hari lalu.
Serida juga membantah pernyataan Direktur RSIA
yang menyebutkan pasien Suryani yang hendak bersalin tidak tertangani
maksimal karena dokter spesialis yang sedianya bertugas yaitu dr Ulfah
Wijaya Kesumah SpOG sedang mengalami diare. Sementara dua dokter
spesialis lainnya sedang bertugas di luar.
Menurut Serida, dua
dokter lain yang dimaksud adalah dirinya dan dr T Rahmad Iqbal SpOG.
Tapi, kata Serida, pada saat itu dirinya bukan sedang bertugas di tempat
lain tapi sudah tidak bertugas lagi dan menghentikan pelayanan di RSIA
sejak 17 Desember 2015. “Saya menghentikan pelayanan supaya ada
perhatian dari direktur, karena sudah beberapa kali saya negosiasi
masalah jasa medis tapi tidak didengar,” katanya.
Dia
menjelaskan, meski rumah sakit tersebut memiliki tiga dokter spesialis
kebidanan dan kandungan, namun sejak Mei sampai Desember 2015 hanya
dirinya saja yang bertugas selama 24 jam. Sedangkan dua dokter lainnya
tidak masuk. “Bayangkan saya harus sendiri 24 jam setiap hari dan tidak
ada hari libur,” keluh Serida dibenarkan suaminya.
Serida mengaku selama ini dia hanya berkeja penuh di RSIA
dan tidak membuka praktek di luar. “Stres kerja jelas ada, beban kerja
ada dan saya tinggalkan keluarga. Sangat wajar saya menuntut hak saya.
Makanya beberapa kali saya nego direktur menanyakan kapan uangnya
keluar, tapi tidak ditanggapi” ujarnya.
Karena tidak ditanggapi, tambahnya, akhirnya dia membuat keputusan untuk menghentikan pelayanan di RSIA
dengan mengirim surat ke direktur tertanggal 16 Desember 2015. Tapi,
tanpa diduga, esoknya (17 Desember 2015), dua dokter yang selama ini
tidak pernah masuk malah masuk kerja hingga terakhir menangani Suryani.
“Saya
berharap dengan saya buat surat seperti ini, saya akan dipanggil pihak
manajemen. Ternyata satu bulan kemudian saya baru dipanggil dan bukan
ditanya berkaitan dengan (surat) ini. Saya berharap mereka membuka mata
lebar karena ini rumah sakit ibu dan anak yang membutuhkan dokter
kandungan dan anak,” katanya.
Tak hanya itu, persoalan lain
yang dialami dr Serida akibat proses itu diturunkannya pangkat dari IIIc
menjadi IIIb. “Ini bukan saja kerugian jasa saja tapi dari segi
administrasinya juga dirugikan. Karena saya dirugikan, saya sampai minta
pindah ke Pidie Jaya. Tapi, Sekda Aceh tidak mengeluarkan izin pindah
dengan alasan masih dibutuhkan,” pungkasnya.
Demo RSIA dan Dinkes
Massa yang yang tergabung dalam Solidaritas Perempuan Antikorupsi (SPAK) Aceh, Jumat kemarin berunjukrasa ke RSIA dan Dinas Kesehatan (Dinkes) Aceh. Massa mendesak Gubernur Aceh mencopot Direktur RSIA serta mengevaluasi manajemen rumah sakit itu.
Massa
pengunjuk rasa dari komunitas antikorupsi lainnya yang ikut dalam aksi
demo itu seperti Sekolah Antikorupsi serta Komunitas Antikorupsi Aceh.
Mereka mengawali aksi dengan berjalan kaki dari Taman Sari Banda Aceh ke
RSIA Aceh yang berjarak kurang dari satu kilometer. Massa disambut aparat kepolisian yang sudah berjaga-jaga di sana.
Koordinator aksi, Yulindawati mengatakan, kedatangan mereka ke RSIA bukan untuk bertemu direktur atau siapapun yang ada di rumah sakit itu. Tujuan mereka sekadar mengingatkan Direktur RSIA
serta tim medis agar selalu mengedepankan kepekaan sosial serta hati
nurani dalam setiap memberikan pelayanan kepada masyarakat tanpa
memandang strata, status sosial, serta faktor lainnya. “Intinya mereka
perlu mengingat sumpah saat diangkat. Mereka juga harus peka dan
menyadari kondisi masyarakat yang saat itu membutuhkan pertolongan.
Bagaimana perasaan mereka, kalau kasus seperti yang dialami Suryani
menimpa anak, istri, atau keluarga dekat mereka? Ini seharusnya ada di
benak mereka, khususnya para tenaga medis,” kata Yulindawati.
Bukan yang pertama
Menurut Yulindawati, kematian Suryani dan bayinya akibat buruknya pelayanan serta lambannya penanganan di RSIA
bukan yang pertama. Sebelumnya ada kasus bayi yang meninggal dunia
akibat terlilit kabel inkubator atau ibu yang terpaksa melahirkan
bayinya di dalam becak akibat lambannya penanganan dan kasus pasien
melahirkan dibantu oleh suaminya akibat tidak adanya tenaga medis.
“Gubernur Aceh harus punya nyali mencopot Direktur RSIA
dan mengevaluasi manajemen rumah sakit itu. Jangan hanya sekadar sidak
dan mengeluarkan statemen di media tapi tidak ada tindak lanjut,” tandas
Yulindawati.
Mengapa selama ini tidak mencuat ke publik, kata
Yulindawati, karena pasien yang menjadi korban ‘kesewenang-wenangan’
dari rumah sakit itu merupakan orang kecil yang tidak memiliki power
sehingga mereka takut kalau kasus yang dialami mereka persoalkan justru
dikhawatirkan akan berbalik kepada mereka.
Massa yang meluahkan uneg-unegnya sekitar 20 menit di RSIA, selanjutnya bergerak ke Dinkes Aceh. Di sana mereka bertemu dengan Sekretaris Dinkes Aceh, Drs Muhammad Hasan MKes.
“Yang perlu dipahami, mulai RSIA,
RSJ, dan RSUZA serta seluruh rumah sakit pemerintah lainnya, itu
langsung di bawah pengawasan Gubernur. Pak Gubernur yang memiliki hak
prerogatif mempertahankan atau mencopot seorang direktur rumah sakit.
Kami tidak punya kewenangan apa-apa,” sebut Muhammad Hasan.
Keberadaan
Dinkes, menurut Hasan sama kedudukannya dengan rumah sakit, sehingga
Dinkes tidak memiliki kewenangan mengintervensi, melakukan pembinaan
serta pengawasan. “Begitu juga bila ada rumah sakit atau puskesmas di
kabupaten/kota yang memberi pelayanan buruk. Itu dikawal langsung oleh
dinas kabupaten/kota setempat,” demikian Muhammad Hasan.(mas/mir)
Saturday, 2 April 2016
Dokter Spesialis Bantah Pengakuan Direktur RSIA
Posted by Unknown on 12:14 pm in Kabar Aceh RSIA | Comments : 0
Subscribe to:
Post Comments
(
Atom
)

Post a Comment